Selasa, 23 Oktober 2012

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI-TEORI HUKUM


A.     ZAMAN KUNO
Pada abad VI dan V SM belum ada Negara Yunani akan tetapi terdapat kota-kota yang sudah mempunyai hidup bernegara yang teratur seperti Milete, Athena, Sparta. Kota-kota itu kadang tergabung satu sama lain dalam suatu perserikatan kota tetapi masing-masing berdaulat maka Kota (polis) bertepatan dengan Negara. Dalam kota semacam itu terutama di Athena timbulah pemikiran tentang Negara dan hukum sebagaimana dialami orang-orang dalam kota itu sendiri, tujuan pikiran itu adalah memeriksa situasi yang mereka hadapi dan mencari garis-garis kebijaksanaan dalam  membentuk suatu Negara yang baik dan sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita warga Negara. Pada masa itu sudah terdapat pemikir-pemikir yang menyusun system filsafat yang lengkap dan hukum merupakan salah satu bagian dari pandangan hidup yang menyeluruh sampai pada akhirnya mencapai puncaknya dalam abad VI SM dalam system-sistem Plato dan Aristoteles yang sangat berpengaruh pada sejarah filsafat sampai sekarang ini.
Pada akhir abad IV Alexander Agung menyerbu Polis-polis Negara Yunani dan juga Negara-negara tetangga. Akhirnya kerajaannya meliputi negeri Yunani, Mesir dan seluruh kawasan Timur Tengah sampai Sungai Indus. Melalui tentaranya Alexander menanamkan dan menyebarkan kebudayaan Yunani di Negara-negara yang telah merebutnya bahakan setelah kematiannya pada tahun 323 SM masih tetap dipertahankan. Selamat abad IV dan III SM tersebar luas kemana-mana, zaman Alexander ini dikenal dengan sebutan  zaman Hellenisme (Hellas-Yunani).
Pada abad-abad yang sama kota Roma muncul sebagai kuasa dunia baru dan lama kelamaan mengambil alih kekuasaan yang dulu direbut Alexander Agung sehingga orang-orang Romawi terpengaruh juga dengan kebudayaan Hellenisme.
Dalam kekaisaran Romawi, studi hukum sangat diutamakan oleh karena studi itu harus menyampaikan garis-garis kebijaksanaan yang perlu dalam mengatur hidup bersama warga dan bangsa. Studi yang tekun dan mendalam tentang hukum itu dapat bertahan berabad-abad hingga abad V Sesudah Masehi.

Teori Filsuf Ionia[1]
Hukum itu Tatanan Kekuatan

Teori dari barisan Filsuf  pertama Yunani sebelum abad ke-6 Masehi diantaranya Anaximander, Thales, Heraclitos, dan Empedocles dikenal sebagai teori filsuf Ionia yang menyatakan bahwa Hukum itu Tatanan Kekuatan[2]. Sesuai dengan alam pemikiran kuno, filsuf-filsuf pertama memandang manusia sebagai bagaian dari semesta alam. Dalam semesta alam hal-hal muncul dan lenyap menurut suatu keharusan ilmiah demikian juga dengan manusia. Keharusan alam dan hidup disebut Hukum (Nomos)[3]. Sebagai generasi awal mereka sangat lekat dengan kosmologi alam dan mitis[4]. Kosmologi alamiah melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam tidak terlepas dari kodratnya, bahkan manusia mewarisi kualitas “Dionysian” bawaan yang cenderung liar, menerima kekajaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup sebagaimana adanya. Sedangkan Mitis melahirkan kosepsi tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu apapun yang dibuat manusia (termasuk Hukum) harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam. Teori para filsuf Ionia tentang hukum yang mencerminkan kosmologi diatas adalah sebagai berikut :
1.    Hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan, karena memang berasal dan diperuntukan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib
2.    Tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia, sama-sama dianggap sebagai bagian dari logika alam yaitu logika kekuatan. Aturan alam menjiwai aturan hukum. Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam adalah hukum ‘survival’
Bagian filsuf Ionia, hukum adalah persoalan mengenai bagaimana manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Hukum adalah rumus-rumus untuk tetap survival sehingga hidup merupakan persoalan seerhana yakni bagaimana dapat bertahan untuk hidup (survive) ada atau lenyap, ini berlaku bagi semua makhluk hidup.
Dalam konteks teori Heraclitos perselisihan dan perang adalah kodrat social dan hasil perang selalu adil, ada yang kalah dan ada yang menang. Singkatnya inti keadilan adalah pertikaian karena smeua hal berkembang lewat pertikaian. Jelaskiranya hukum berisi aturan-aturan yang memungkinkan berlangsungnya hubungan-hubungan social dalam logika “arus kuat-lemah”. Karena dalam setiap struktur social ada piha yang dominan, maka dimungkinkan pula hukum menjadi alat bagi yang kuat[5]

Teori Kaum Sofis[6]
Hukum Sebagai Tatanan Logos

Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V SM, mereka adalah orang terpelajar yang berkeliling di Polis-polis negeri Yunani untuk megajar pemuda-pemuda yang ingin memainkan perannya dalam Politik Kenegaraan. Pada abad V, kebanyakan Polis Yunani sudah demokratis, artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepentingan para sesepuh (res patricia), melainkan telah menjadi kepentingan umum (res publica), orang-orang yang mewakili rakyat memperhatikan kepentingan umum.
Dapat dikatakan bahwa polis telah mempunyai aturan yang terang. Keharusan alamiah yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya menjadi hukum ynag terang  melalui undang-undnag polis dan praktek hukum yang sesuai[7].
Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang Filsuf Ionia. Duni amateri bukan lagi segala-galanya, ada unsure lain yang labih utama, yakni manusia yang memiliki logos dan dunia berpusat pada manusia yang mempunyai logos itu sehingga hukum juga berpusat pada manusia yang  demikian itu. Bagi kaum sofis hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang terlanjang, mereka mengkaitkan hukum dengan moral alam yakni logos[8] wujudnya adalah Nomos[9].
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras, nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan karena nomos mengandung moral Logos, maka pelanggaran terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Menurut  salah satu eksponen Sofis yaitu Protagoras, nomos bisa tampil dalam bentuk kebiasaan dan juga dalam bentuk Undang-undang, oleh karena itu dalam tradisi Yunani hukum (nomos) dan Undang-undang (nomoi) sangatlah penting untuk menata Polis.
Sama seperti filsuf Ionia Teori kaum sofis memberikan peluang eksplanasi yang cukup besar bagi kita dalam melihat hukum
1.    Sebuah teori mesti dibangun  berdasarkan asumsi dasar tertentu yang kemudian menajdi basis eksplanasi (penjelasan) terhadap isi teori. Teori kaum sofis, hukum merupakan aturan hidup terang (mencerahkan) dan dapat diandalkan menuntun  pada kehidupan yang adil dan damai tidak dibangun dari ruang kosong. Mereka mendasarkan konstruksi teoritisnya pada asumsi dasar tenang Logos yang menunjuk pada sumber-sumber pencerahan, keadilan, kedamaian dan hal-hal baik lainnya. Logos itula yang memungkinkan nomos yang akan menjadi sumber aturan hukum positif.
2.    Hukum bukanlah unit yang tertutup yang lepas dari system social yang lebih besar. Hukum (suatu aturan) menjadi tatanan yang kait mengkait denga subsistem-subsistem lain dalam masyarkat, baik yang sifatnya abstrak maupun yang lebih empiris. Kaum sofis mengingatkan bahwa kita tidak akan memahami secara memadai sebuah aturan hukum tanpa menyertakan sekalian factor yang berkaitan dengan peraturan tersebut, bai yang sifatnya ideologis maupun empiris.
3.    Hukum yang baik membutuhkan basis idealism sebagai rujukan bagi muatan dan isinya. Bagi sofis idealism itu logos[10]


[1] Disebut juga Filsuf-filsuf Pertama daam Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah.Hlm.20. Dalam Kepustakaan Filsuf Ionia, disebut juga sebagai Filsuf Miletos yang merupakan kota asal para Filsuf seperti Thale-Aneximaderos (Anaximenes)
[2] Bernard T, Teori Hukum.Hlm.18
[3] ibid
[4] Manusia pada tahap ini belum dapat dinamakan subyek yang sepenuhnya karena manusia masih merupakan suatu lingkaran terbuka dan belum mempunyai eksistensi yang bulat. Seorang individu diresapi oleh pengaruh dari keanggotannya dalam kelompok dan serentak dari alam raya, hanya ketika berada dalam daya kekuatan tersebut  seorang individu memperoleh identitasnya (lih.Peursen, Strategi Kebudayaan, KAnisius 1985)
[5] Bernad, T, op.cit.Hlm.18-20
[6] Sofis (Sophistes) berarti seorangbijaksana atau orang yang memiliki keahlian pada bidang tertentu, meski pada masa pasca Socrates diartikan menjadi Sophistery yaitu orang-orang yang menipu orang lain dengan menggunakan keahlian retorikanya)
[7] Theo Huijbers, Loc.Cit.Hlm.20-21
[8] semacam roh illahi yang memandu manusia pada hidup yang patut
[9] Dalam tradisi Yunani menunjukan pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis dalam polis diluar itu hanya ada kekacauan.
[10] Bernard T, Op.Cit,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar